Sabtu, November 08, 2008

PANTASKAH KITA SENANG DENGAN KEMENANGAN OBAMA?

Beberapa hari lalu Amerika Serikat baru saja punya presiden baru (walaupun secara hukum diakui pada Januari 2009 nanti), tetapi hampir seluruh rakyat dunia menanggapinya dengan suka cita. Obama sebagai seorang warga Amerika pertama dari golongan kulit hitam patut berbangga diri jika fenomena kemenangannya ternyata telah membuat semua warga dunia bagaikan sedang terhipnotis oleh suasana kemenangan tersebut. Begitu hasil pemilihan diumumkan oleh berbagai lembaga survei terkenal ke masyarakat, semua mulai gembira, semua mulai senang, dan semua.....
Bahkan kita yang di Indonesia pun turut larut dalam "pesta" kemenangan tersebut. Lihat saja bagaimana orang Amerika (baca:bule) merayakan kemenangan tersebut di hotel-hotel mewah. Lihat juga orang Indonesia yang ikut pesta tersebut. Orang-orang Indonesia tersebut merayakan kemenangan tersebut bagaikan mereka yang baru dapat presiden baru, bagaikan mereka mendapat keberuntungan yang tiada taranya, dan bagaikan gilanya mereka bahwa ketika mereka sadar bahwa Obama dulu pernah tinggal di Indonesia, Menteng tepatnya, punya orang tua tiri laki-laki orang Indonesia, Lolo Soetoro namanya, bahwa Obama kecil bernama Barry Soetoro, dan orang-orang Indonesia pun merasa punya kedekatan emosional dengan si "presiden kulit hitam" pertama Amerika itu.
Rasanya tidak ada salahnya ketika kita turut juga merayakan sedikit saja kemenangan itu. Lagipula kemajuan Amerika akan turut mempengaruhi "sedikit" kemajuan di Indonesia. Siapa tahu kalau Obama menang kita orang Indonesia "mudah-mudahan" kena cipratan kemajuan Amerika.
Saya sendiri pada awalnya menyambut baik kemenangan tersebut, karena pada dasarnya saya lebih menyukai figur Obama daripada McCain apalagi Sarah Palin, yang Afrika itu benua saja dia tidak tahu, malahan dikatakan negara dan Afrika Selatan dikatakan adalah bagian negara Afrika tersebut (aneh, masak calon orang kedua Amerika nilai Geografinya sangat rendah).
Tetapi syukurlah bagi saya bahwa kesenangan dan kegembiraan tersebut tidak lama bercokol di dalam dada ini. Segera keluar setelah saya banyak membaca beberapa berita di berbagai media massa cetak maupun elektronik, mengenai bagaimana kebijakannya yang sangat-sangat pro Israel Zionis (maaf:LAKNAT) dan tak memandang sedikit pun penderitaan rakyat Palestina yang sampai saat ini terkungkung dalam belenggu penjajahan Israel. Apa sebab? Pasti kita bisa jawab, ya karena pada awal pencalonan sebagai kandidat konvensi calon presiden dari Demokrat dulu Obama didukung komunitas Yahudi Amerika. Sudah bukan barang rahasia nan tertutup lagi jika seorang Amerika ketika hendak menang dalam pemilihan seperti itu maka yang paling dahulu didekati adalah Yahudi Amerika yang ternaungi dalam organisasi AIPAC. Kenapa? Ya karena merekalah pemegang sebenarnya kendali perekonomian Amerika. Sudah tidak aneh jika ada data yang mengatakan bahwa 10 orang kaya teratas Amerika adalah semua Yahudi. Maka untuk mendapatkan dana kampanye sebanyak-banyaknya adalah mengeruk kekayaan tersebut. Nah, lantas kompensasinya? Bodoh kalau kita beranggapan kalau setiap pemberian tersebut tanpa balas budi setimpal, bodoh kalau kita beranggapan kalau dengan sukarela Yahudi itu menyerahkan uangnya kepada tim kampenye Obama. Salah satu budi yang perlu dibalas dan yang "bau"nya paling menohok hidung adalah perlindungan yang perlu dijaga bagi Israel oleh Amerika. Gampangkan? Maka agar meyakinkan orang Yahudi Amerika itu, Obama sampai rela-relanya menyatakan bahwa dibawah kepemimpinannya Amerika adalah sekutu terkuat dan terkarib Israel dan akan melindungi sepenuhnya hak Israel atas Yerusalem, serta sampai rela-relanya Obama melakukan doa di depan tembok ratapan di dekat Masjidil Aqsa. Sampai demikian? Ya.
Itu belum seberapa jika kita bandingkan dengan keputusan Obama yang mengangkat seorang mantan tentara Israel menjadi Kepala Staf Gedung Putih, namanya adalah Rahm Emanuel. Sumber-sumber di Partai Demokrat mengatakan, Emanuel kemungkinan besar menerima tawaran tersebut dan ia akan menjadi orang paling penting dalam lingkaran baru pemerintahan Obama. Ia berhasil menjadi orang dekat Obama lewat sahabat karibnya, David Axerold yang juga konsultan politik Emanuel. Sebelum masuk ke lingkaran Obama, Emanuel menjadi penasehat politik Bill Clinton, saat menjabat sebagai presiden AS.
Radio dan media massa Israel dalam laporannya menyebutkan bahwa Emanuel yang lahir di daerah pendudukan Yerusalem, pernah bertugas di kemiliteran Israel sebagai relawan dan pernah ditempatkan di wilayah utara Israel saat Perang Teluk 1991. Ayah Emanuel adalah bekas tentara Irgun, tentara bawah tanah bagian dari gerakan kelompok Yahudi ultra-nasionalis yang melakukan perlawanan terhadap pasukan Inggris dan mengusir orang-orang Palestina menjelang terbentuknya negara ilegal Israel pada tahun 1948. Ketika menjadi penasehat di pemerintahan Clinton, Emanuel dikenal sebagai ahli strategi dan dipandang sebagai salah satu arsitek kebijakan-kebijakan kontroversial AS.
"Saya adalah orang yang dikenal temperamental, pendendam, suka bicara keji dan kejam. Dan itulah yang selalu dikatakan ibu saya yang suka membual tentang diri saya," kata Emanuel dalam kesempatan makan malam bersama dengan para wartawan setahun lalu. Israel tentu saja senang mendengar kabar Obama akan menunjuk Emanuel sebagi kepala staff Gedung Putih-nya. Surat kabar Israel Maariv dalam headlinenya bahkan menyebut Emanuel sebagai "Orang kami (Israel) di Gedung Putih."
"Jelas dia akan memberikan pengaruh yang besar pada presiden agar lebih pro-Israel," kata ayah Emanuel pada surat kabar Maariv. Sementara situs Israel Ynet menulis, "Emanuel adalah seorang pro-Israel dan tidak akan mau menerima tawaran jabatan itu kecuali dia yakin bahwa presien terpilih Obama juga pro-Israel."
Itulah salah satu kenyataan pahit yang ternyata bagi orang Indonesia (terutama Muslim) dainggap suatu kemenangan (victory) ketika si Barry Obama menang dalam ajang pencarian presiden Amerika. Bukankah kita orang Islam memiliki hubungan antara sesama Muslim lebih erat dan lebih utama bahkan di atas hubungan darah? Bukankah jika ada Muslim yang terkena aniaya dari orang kafir maka wajib bagi kita melindunginya? Kita tentu tahu itu, tetapi kita lebih individualis, menganggap tidak penting. Tidak ada salahnya ketika orang berkata "ngapai sih kita repot-repot mikirin Palestina, lha negara sendiri belum becus?." Itu memang tidak salah.
Tetapi alangkah bersalahnya kita ketika ada Muslim di belahan bumi lain menderita, sedangkan kita malah merayakan kemenangan orang yang jelas-jelas menolong sampai "patah lehernya" kaum yang memang mau memerangi Islam dan Muslim?